PT Pos Indonesia di Simpang Jalan

 Saat ini PT Pos Indonesia sedang menghadapi berbagai masalah serius yang apabila tidak dapat ditangani dengan tepat dapat berdampak terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Tingkat profitabilitas yang dalam kisaran nol persen selama tiga tahun terakhir, meskipun tidak mencerminkan secara utuh kinerja perusahaan memberikan cukup gambaran potret buram perusahaan. Jika dibandingkan dengan tingkat profitabilitas perusahaan perposan negara-negara tetangga seperti: Pos Malaysia 18,5% dan Singapore 28,7%, maka sebenarnya secara umum bisnis perposan apabila ditangani dengan manajemen yang baik masih memberikan peluang. Problematik struktural yang dihadapi terutama disebabkan pertumbuhan biaya (cost) yang antara lain disebabkan besarnya porsi belanja pegawai akibat tuntutan kesejahteraan tidak mampu diimbangi dengan pertumbuhan pendapatan (revenue) yang memadai. Oleh karena itu, tanpa adanya langkah-langkah yang radikal atau perubahan yang signifikan maka secara perlahan PT Pos Indonesia yang bulan September ini hampir berusia 61 tahun (terhitung sejak perusahaan menjadi/dikelola oleh Pemerintah Indonesia), mungkin tidak akan bertahan eksis dalam persaingan atau dengan kata lain terancam kebangkrutan.


Di satu pihak, kondisi eksternal sangat berpengaruh besar terhadap bisnis yang dikelola PT Pos Indonesia. PT Pos Indonesia yang bergerak dalam tiga pilar bisnis utama (core business) yaitu: komunikasi, keuangan dan logistik, dihadapkan pada situasi persaingan yang sangat tajam. Deregulasi menyebabkan rendahnya entry barrier dalam bisnis perposan sehingga jumlah perusahaan yang bergerak dalam courrier service jumlahnya sangat banyak dan menyebabkan kondisi persaingan yang sangat tajam. Bisnis komunikasi yang dikembangkan PT Pos Indonesia yaitu layanan suratpos merupakan komunikasi generasi pertama yang saat ini mengalami penurunan sangat tajam karena disamping harus bersaing dengan para pengelola jasa titipan, juga harus menerima kenyataan beralihnya sebagian konsumen kepada produk substitusi yaitu SMS dan produk teknologi informasi lainnya seperti internet. Ceruk pasar (niche market) yang masih terbuka untuk beberapa tahun mendatang terutama kiriman dokumen dimana saat ini pangsa pasar PT Pos Indonesia masih sangat kecil. Peluang lain mungkin direct mail yang di negara kita masih dalam tahap perkembangan, sebenarnya merupakan peluang yang cukup bagus dengan competitive advantage yang dimiliki perusahaan terutama dalam penguasaan delivery. Pengembangan pasar untuk produk ini perlu didukung dengan database yang baik serta tingkat profesionalisme yang tinggi (Finlandpost merupakan contoh kasus yang baik dalam pengembangan produk ini). Begitu pula berkembangnya produk perbankan dengan didukung teknologi informasi mengembangkan secara cepat Automatic Teller Machine (ATM) dengan content multi transaksi memberikan service level yang semakin tinggi, sehingga menyebabkan layanan keuangan yang dikembangkan PT Pos Indonesia yang sifatnya masih konvensional sulit untuk bersaing. Oleh karena itu mau tidak mau PT Pos Indonesia harus melakukan switching layanan keuangannya yang berbasis cash menjadi berbasis account. Obsesi perusahaan menjadi national payment gateway saja tidak cukup, karena pada akhirnya harus mengarah menjadi fully banking services. Meskipun PT Pos Indonesia sudah sangat lama mengelola layanan pengiriman barang, namun dalam bisnis logistik PT Pos Indonesia masih merupakan pemain baru. Kompetitor utama dalam bisnis ini adalah perusahaan-perusahaan multinasional (MNC), sehingga memiliki kemampuan sumber daya keuangan dan teknologi serta dukungan network yang sangat kuat. Pengembangan layanan pengiriman barang ke bisnis logistik, memerlukan investasi yang cukup besar dan dalam kondisi perusahaan seperti saat ini sulit mengembangkan bisnis ini tanpa melakukan aliansi strategis dengan perusahaan lain. Oleh karena itu, membangun aliansi strategis merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar. Permasalahannya adalah tidak mudah mencari partner yang sesuai dengan visi dan misi perusahaan.


Di lain pihak, PT Pos Indonesia menghadapi berbagai masalah internal seperti rendahnya produktivitas pegawai dan aset lainnya. Jumlah pegawai PT Pos Indonesia, yang mencapai kurang lebih 23.937 orang, tidak menyebar secara proporsional sehingga tingkat produktivitas masing-masing daerah sangat bervariasi dengan sebaran yang cukup tinggi. Hal ini menyebabkan sebagian pegawai merasa telah bekerja sangat berat dan masih banyak peluang yang tidak dapat tergarap (opportunity loss), sebagian lagi bekerja kurang dari yang seharusnya sehingga tidak efisien. Kesenjangan kompetensi yang disebabkan perubahan lingkungan bisnis dan teknologi juga merupakan faktor lain yang perlu mendapatkan perhatian serius. Perubahan visi dan misi organisasi menyebabkan keharusan adanya perubahan budaya. Budaya lama yang sudah dianggap kurang relevan belum diikuti dengan pengembangan budaya baru menyebabkan lemahnya buadaya perusahaan (terdapat kegamangan). Struktur organisasi yang ada baik di tingkat pusat, wilayah, dan UPT masih belum efisien jika dibandingkan struktur organisasi perusahaan pesaing. Demikian juga dengan aset properti (bangunan dan tanah) yang jumlahnya mencapai 3.296 unit, tidak seluruhnya berada dalam lokasi yang strategis, sehingga banyak yang idle dan bahkan memerlukan maintenance cost yang tinggi.


Sement ara itu, PT Pos Indonesia yang merupakan anggota Union Postal Universal (UPU) juga terikat konvensi untuk melaksanakan pelayanan yang bersifat universal service obligation (USO) yang mewajibkan PT Pos Indonesia untuk memberikan pelayanan murah dan merata untuk seluruh penduduk. PT Pos Indonesia sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga diberikan tanggungjawab untuk melaksanakan peran pemerintahan dalam melayani masyarakat atau public service obligation (PSO), seperti keharusan untuk memberikan kemudahan dalam pelayanan komunikasi, pengiriman barang dan pelayanan keuangan terhadap para pegawai negeri, transmigran, pensiunan di daerah terpencil. Kewajiban-kewajiban tersebut dalam situasi ekonomi saat ini, dimana harga-harga barang dan jasa sangat tinggi, tentunya merupakan pelayanan yang menambah beban biaya dan menambah kerugian bagi perusahaan. Status perusahaan yang bersifat perseroan tentunya mengharuskan perusahaan mampu menutup berbagai biaya operasi untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut dengan cara cross subsidy. Namun, dengan adanya berbagai kondisi internal dan eksternal seperti tersebut di atas menyebabkan kemampuan PT Pos Indonesia untuk meraih keuntungan dalam bisnis di daerah gemuk (terutama di perkotaan) tidak berjalan seperti yang diharapkan.


Sedangkan kendala struktural dalam hal institusi terutama mengenai peran ganda yang harus diemban PT Pos Indonesia yaitu sebagai agent of development dan agent of change yang merupakan perpanjangan peran pemerintah dalam melayani masyarakat dan sebagai institusi bisnis yang bersifat persero yang seharusnya mampu memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara. Sejauh mana peran tersebut dapat dilaksanakan secara bersamaan? Pertanyaan tersebut tentunya wajar ketika melihat kondisi perusahaan yang saat ini sedang dalam kondisi sulit. Ataukah justru kedua peran tersebut yang justru menyebabkan PT Pos Indonesia saat ini berada dalam kondisi seperti itu. PT Pos Indonesia adalah perusahaan jasa yang mengalami perjalanan sejarah cukup panjang, oleh karena itu analisis terhadap PT Pos Indonesia tidak cukup hanya melihatnya dari perspektif saat ini. Awalnya layanan jasa pos merupakan layanan yang bersifat monopoli dan bersifat public goods, sehingga pelayanan pos saat itu hanya di lakukan oleh negara sampai akhirnya berbentuk perusahaan negara. Namun secara perlahan layanan jasa perposan berubah dari yang semula murni public goods berkembang menjadi layanan yang tidak lagi murni bersifat public goods, artinya sebagian layanan diserahkan ke pihak swasta. Mungkin permasalahannya adalah perusahaan swasta hanya beroperasi di daerah-daerah gemuk dan tidak dibebani oleh melaksanakan kewajiban – kewajiban bersifat USO dan PSO, sedangkan PT Pos Indonesia harus melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut. Saat Pos Indonesia masih berbentuk perusahaan jawatan (Perjan) atau bahkan perusahaan umum (Perum), mungkin hal ini tidak menimbulkan masalah bagi perusahaan karena dengan status tersebut perusahaan tidak dituntut untuk menghasilkan profit. Tapi ketika status perusahaan berubah menjadi perusahaan perseroan (Persero), maka timbul permasalahan ketika dengan posisi tersebut kinerja perusahaan dituntut sama dengan perusahaan swasta yang bergerak dalam orientasi bisnis dengan mengejar keuntungan semata. Meskipun untuk ukuran kinerja BUMN sesuai dengan Kepmen Keuangan Nomor: 826/KMK.013/1992 Tanggal 24 Juli 1992 tidak seluruhnya berdasarkan indikator-indikator keuangan, namun ketika indikator-indikator dalam kinerja keuangan tidak baik tetap saja pihak stakeholder akan menganggap Direksi BUMN gagal. Oleh karena itu, bagaimanapun juga dengan status Persero, maka Direksi PT Pos Indonesia akan tetap dituntut untuk selalu meningkatkan kinerja khususnya dalam indikator–indikator keuangannya. Mempertanyakan tepat atau tidaknya perubahan status bukan sesuatu yang relevan lagi, en toch hal itu sudah terjadi. Mungkin lebih baik kalau mencari alternatif-alternatif yang dapat ditempuh lebih berguna dalam memahami permasalahan tersebut.


Langkah-langkah perbaikan untuk mendongkrak kinerja perusahaan perlu segera dilakukan terutama terhadap dua aspek yang mendasar yaitu: operasi bisnis dan restrukturisasi kelembagaan. Strategi pengembangan perusahaan 6R (Repositioning, Reinventing, Reengineering, Restructuring, Resizing, Resource Allocation) merupakan langkah yang cukup strategis dan perlu terus dilaksanakan secara konsisten. Namun demikian dihadapkan pada dimensi waktu dan luasnya permasalahan yang dihadapi, langkah-langkah strategis yang bersifat struktural dan radikal khususnya menyangkut masalah kelembagaan masih tetap perlu dilakukan. Beberapa alternatif yang dapat diambil perusahaan antara lain:


Pertama, Mengembalikan bentuk status perusahaan menjadi Perum atau Perjan, sehingga sebagai perusahaan yang tidak dibebani kewajiban menghasilkan profit. Permasalahannya adalah tidak mudah mengembalikan perusahaan yang sudah terlanjur berstatus Persero ke bentuk yang lebih rendah terutama dalam hal kewenangan pengelolaan manajemen dan kesejahteraan yang diberikan terhadap pegawainya. Oleh karena itu opsi ini mungkin pilihan terakhir manakala perusahaan benar-benar dalam kondisi yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk tetap eksis dalam bentuk sekarang.


Kedua, Tetap seperti sekarang, yaitu dengan status perusahaan persero, namun kewajiban USO dan PSO disubsidi oleh pemerintah dengan asumsi masih memungkinkan dilakukan perbaikan dalam kinerja manajemen. Namun, dengan struktur keuangan, khususnya dalam komposisi pengeluaran biaya perusahaan, yang biaya belanja pegawainya sangat besar dan lebih dari yang seharusnya menyebabkan kemampuan operasional perusahaan terseok dan hampir tidak memungkinkan lagi untuk melakukan investasi, di lain pihak pertumbuhan pendapatan sulit untuk dikembangkan, maka dalam jangka panjang perusahaan akan menjadi semakin sulit dan tidak mampu lagi untuk bersaing. Dalam bahasa yang sederhana kalau tidak ada uluran tangan dari pemerintah maka perusahaan akan mengalami MPP (Mati Pelan-Pelan). Perbaikan yang tidak bersifat struktural dan signifikan kurang akan memberikan dampak terhadap perbaikan kinerja perusahaan. Masalahnya adalah untuk melakukan perbaikan struktural dan signifikan ialah mengharuskan manajemen melakukan kebijakan di bidang kepegawaian yang mungkin kurang populer dan mungkin akan sangat ditentang oleh Serikat Pekerja yang ada. Oleh karena itu mungkin alternatif untuk meminta bantuan pemerintah terutama dalam penyediaan pendanaan untuk memecahkan masalah ini mungkin dapat jadi solusi terbaik, yang artinya perusahaan dapat disehatkan sementara para pegawai yang terkena dampak kebijakan dapat tetap hidup dengan sejahtera.


Ketiga, Kepemilikan perusahaan secara utuh dijual kepada swasta (Pos Argentina merupakan salah satu yang dapat dijadikan contoh kasus dalam swastanisasi perusahaan pos negara). Masalahnya adalah jika mayoritas saham masih dikuasai pemerintah mungkin tidak akan menarik minat para investor, karena dengan pengelolaan manajemen perusahaan masih dikelola oleh wakil pemerintah para investor tidak leluasa untuk melakukan perubahan-perubahan yang radikal. Sedangkan jika sebagian besar saham perusahaan atau seluruh kepemilikan perusahaan dijual akan lebih menarik minat para investor, tapi hal ini mungkin akan mendapat tantangan dari Serikat Pekerja karena nasib para karyawan akan kurang terlindungi jika dibandingkan ketika masih menjadi karyawan BUMN.


Keempat, Perusahaan menjual sebagian atau seluruh business yang profitable dalam bentuk anak-anak perusahaan. Untuk membentuk anak-anak perusahaan baru dalam bisnis perposan, yang sangat memerlukan dukungan infrastruktur teknologi informasi dan alat transportasi, memerlukan biaya besar, sementara kemampuan perusahaan untuk melakukan investasi sangat rendah. Perlu pertimbangan yang matang untuk opsi-opsi business mana yang akan dijadikan anak perusahaan, apakah satu, dua, atau tiga–tiganya. Pemilihan mitra juga merupakan hal yang perlu mendapat perhatian yang serius, terutama mitra yang benar-benar mampu memberikan sinergi terhadap pengembangan bisnis perusahaan. Di samping itu, perlu adanya rencana yang jelas dalam melakukan restrukturisasi organisasi perusahaan (khususnya masalah rightsizing), karena tanpa kejelasan langkah restrukturisasi organisasi, perusahaan akan tetap menanggung beban pegawai yang berat, sementara pendapatan dari bisnis yang menguntungkan berkurang karena sharing dengan investor lain.


Kelima, Melakukan pemisahan fungsi perusahaan sebagai public service dan profit making. Berbeda dengan alternatif keempat, dalam alternatif ini langkah pertama memecah perusahaan menjadi dua perusahaan yaitu: satu perusahaan yang bersifat public service dikembalikan ke bentuk Perum atau Perjan sehingga kepemilikan dan pengelolaannya benar–benar dikuasai pemerintah, sedangkan satu perusahaan lagi pengelolaannya bersifat business oriented dan kepemilikannya sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh swasta sehingga dengan demikian akan terdapat dua Direksi (Direksi PT Pos Indonesia dan Direksi Perum atau Perjan Pos Indonesia). Masalahnya tidak mudah untuk melakukan pemisahan asset khususnya dalam melakukan pemisahan karyawan yang ada.


Mungkin masih banyak lagi alternatif lain yang tersedia, namun dari gambaran tersebut di atas menunjukan setiap alternatif yang ditempuh pasti memiliki peluang dan tantangannya sendiri, yang akan menimbulkan dampak yang berkepanjangan jika tidak dilakukan dengan hati-hati. Diperlukan diskusi yang panjang dan melibatkan banyak pihak ketika Manajemen akan menentukan arah yang akan dipilih sehingga keputusan yang dibuat tidak akan menjadi “dosa sejarah” dan harus dipikul terutama para karyawan (lebih dari 23.000 orang) dan keluarganya yang jumlahnya cukup besar.

Rewrite

Sumber: ibnudblog

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
close